Awal Perjalanan Bibliodrama Saya
Sr. Justanti Rerawati, OSU

Pertama kali saya mengenal Bibliodrama adalah ketika saya mengikuti workshop Bibliodrama (bahasa pengantar Bahasa Inggris) di Bandung, Jawa Barat, Indonesia pada tahun 2009. Pemandu saya Fr. Oscar Alunday, SVD dari Filipina. Saya mengambil kelas fasilitator dasar sebagai kelas dasar untuk dapat mengikuti kelas lanjutan: Fasilitator, Fasilitator Lanjutan, dan Pelatihan untuk pelatih. Saya mengalami kesulitan dengan bahasa Inggris sementara Bibliodrama adalah hal baru bagi saya, bahkan baru bagi umat Katolik Indonesia. Usai kursus, saya tidak begitu paham apa itu Bibliodrama.
Pada tahun 2011, saya menjadi anggota tim retret Rumah Retret Panti Semedi untuk siswa SMP / SMA. Saya mencoba untuk berlatih Tarian dalam kursus Bibliodrama yang menjadi inspirasi saya untuk membantu siswa berdoa selama retret mereka. Ini adalah pertama kalinya saya berlatih tari Bibliodrama. Hanya tariannya dan bukan Bibliodrama. Saya masih belum sepenuhnya memahami Bibliodrama.
Saya belajar dari evaluasi yang diberikan oleh peserta retret tentang tarian tersebut di atas. Meski hanya berupa tarian, mereka menyampaikan bahwa doa dengan tarian tersebut sangat mengharukan dan menjadi sesuatu yang baru serta semangat bagi retret anak muda. Keingintahuan saya muncul. Jika tarian itu sendiri memiliki pengaruh yang besar, saya bertanya-tanya bagaimana seluruh Bibliodrama akan memiliki pengaruh yang lebih besar. Rasa ingin tahu saya semakin bertambah untuk mengetahui cara melakukan proses Bibliodrama.
Saya mulai membaca buku Bibliodrama (dalam bahasa Inggris) yang saya beli selama workshop tahun 2009 (tapi saya belum pernah membacanya). Buku-buku itu hanya hiasan di rak buku saya. Saya hanya membawanya saat saya pindah ke sana ke mari untuk perutusan saya.
Perjalanan dan tantangan
Dengan rasa penasaran, saya membaca buku dari bagian yang paling mudah diterjemahkan yaitu penjelasan makna dan filosofi tari Bibliodrama. Saya semakin merasa bahwa tarian tersebut sangat bermanfaat untuk membantu kaum muda selama retret mereka. Akhirnya saya membaca lebih detail tentang Bibliodrama dari berbagai sumber. Dari tahun 2011 – 2013 saya masih belum memiliki gambaran lengkap tentang Bibliodrama sampai saya mengikuti kursus Pembimbing Rohani/ Retret. Saya telah menemukan dan mengalami bahwa prinsip Pembimbing Rohani adalah mendengarkan apa yang tidak mereka (yang dibimbing) katakan. “Mendengarkan” tidak hanya dengan telinga tetapi mendengar suara hati dan pengalaman hidup setiap orang yang dibimbing.
Di sinilah perjuangan, “mendengarkan” yang tak terucap dan menangkap yang tak diungkapkan membutuhkan keberanian untuk menerima pengalaman mereka yang terkadang sulit dipahami atau terlalu sulit bagi mereka. Tantangan lainnya adalah sulitnya membangun tim retret dengan metode Bibliodrama karena untuk bisa merasakan pengalaman peserta, seorang pembimbing harus sudah pernah mengalami proses Bibliodrama secara keseluruhan atau minimal magang bersama dalam team.
Pemahaman baru seorang Pembimbing Retret membuat saya pada pertengahan tahun 2013 berani untuk mulai memandu retret kelompok remaja dengan metode Bibliodrama meskipun saya masih berjuang untuk memahaminya. Saya tidak menyangka bahwa metode ini begitu kuat. Saya semakin penasaran dan mencari bahan bacaan tentang Bibliodrama di internet. Saya menemukan e-book, “THE WORD AND THE ART, Bibliodrama in intercultural dialogue” (Diedit oleh Maria Schejbal).
Itu adalah tahun yang sangat menyenangkan bagiku.
Dengan perkembangan teknologi, saya bisa membaca buku dalam bahasa Inggris dengan menggunakan kamera aplikasi penerjemah google. Bibliodrama “The Good Samaritan“ dan “The Story of Joseph“ telah menjadi perikop favorit untuk materi retret siswa dan kelompok orang muda. Saya mempelajarinya lebih detail kemudian mulai mempraktikkannya. Saya menggunakan metode Bibliodrama untuk retret pribadi saya sebagai laboratorium hidup pertama sebelum saya membimbing orang lain. Saya belajar untuk mengalami Sabda dan merasakannya dalam retret saya.
Saya bahkan lebih heran: bagaimana Sabda benar-benar dapat mengubah dan menyembuhkan seseorang. Tidak hanya mereka tetapi saya sendiri sebagai pemandu mengalaminya. Ketika saya mengadakan retret menggunakan metode ini, saya merasakan Firman hidup dan bekerja dalam diri setiap orang dengan cara yang sangat unik. Sebagai pemandu, saya mengalaminya, sungguh Tuhan sendiri yang bekerja dan tim kami adalah fasilitator untuk membawa retret kepada Tuhan sendiri.
Kami sebagai tim mencoba untuk melihat, mendengar apa yang tidak diungkapkan oleh setiap peserta retret melalui pose, gerak tubuh, mimik / ekspresi, pilihan warna, dll. Semua ini terkait dengan pengalaman batin atau pengalaman masa lalu mereka.
Penasaran dan penjelajahan tidak berhenti sampai di situ, saya mencoba mempraktikkan cara-cara tersebut untuk membantu kaum muda. Saya membujuk sekelompok kecil orang muda – pengurus misdinar – untuk mempelajari Alkitab menggunakan metode ini. Mulai dari 7 orang dan dalam waktu 8 bulan, terdapat 15 orang yang rutin bertemu setiap bulan. Dari sebuah kelompok – Bible Youth Club , ke komunitas – Bible Youth Community.
Metode bibliodrama untuk segala usia dan lintas agama / budaya
Sehingga sejak tahun 2014 saya gencar menggunakan Bibliodrama dalam karya pastoral dan katekese umat, karena Bibliodrama untuk segala usia, bahkan lintas agama / budaya. Saya memberi penekanan yang berbeda sesuai kelompok yang dibimbing.
Saya merancang Bibliodrama bagi anak-anak untuk mengalami kegembiraan melalui tarian, pose, dan ekspresi dari perikop kitab suci dan membuat mereka senang dengan Kitab Suci, saya pikir itu sudah cukup. Ketika saya merancang Bibliodrama untuk komunitas yang bertemu secara teratur, saya menyusun bagian-bagiannya sesuai dengan dinamika harian mereka sehingga pengalaman sehari-hari mereka ditafsirkan dan dihayati dalam Firman itu sendiri. Internalisasi Sabda dalam kehidupan sehari-hari.
Ketika saya diminta untuk menemani para novis Jesuit dengan Bibliodrama, materinya dirancang untuk “duc in altum” sehingga mereka dapat mengenal diri mereka sendiri, ‘anak kecil’, realitas terkini, dan dibantu untuk memproses mereka melalui bagian-bagian Kitab Suci di Bibliodrama.
Bibliodrama dengan bacaan yang sama akan memiliki dinamika yang berbeda bila dibawakan pada kelompok dosen yang berbeda usia, kedudukan, aliran, budaya. Tanpa perencanaan saya, Firman itu sendiri akan bekerja di dalam mereka dan membimbing mereka pada apa yang paling dibutuhkan pribadi/kelompok dalam kehidupan dan dinamika dosen di institusi universitas.
Pengalaman pribadi juga berbeda ketika petikan yang sama dilakukan dalam kelompok Sekolah Dasar / Sekolah Menengah Pertama / Sekolah Menengah Atas / Siswa dalam retret atau rekoleksi. Pengalaman saya selalu unik untuk setiap individu / kelompok meskipun bacaan yang digunakan sama. Inilah yang saya katakan Kekuatan Firman melalui Bibliodrama. Firman itu benar-benar hidup.
Pengalaman perjuangan dalam Bibliodrama sejak 2013 telah membuahkan hasil yang sangat berarti bagi kehidupan iman saya dan juga dalam karya kerasulan Kitab Suci dan pastoral umat. Saya semakin ditegaskan ketika kembali mengikuti workshop 2018 dan berdialog dengan F. Oscar Alunday, SVD bahwa begitulah cara kerja Bibliodrama, ungkap beliau. Bibliodrama sangat memungkinkan untuk membantu orang dalam bertemu dengan Tuhan dan dirinya sendiri.
Suatu pengalaman yang mengesankan terkait perjalanan saya dengan Bibliodrama, adalah ketika saya mendaftar dan diterima di workshop “European Bibliodrama online” pada Desember 2020 dan 17 Januari 2021. Sehingga dari sana, saya memiliki rekan praktisi / instruktur Bibliodrama dari Eropa yang merupakan komunitas lintas agama / benua. Ini benar-benar berkah yang tak terduga bagi saya di tengah pandemi ini.
Akhirnya, Bibliodrama menciptakan ruang di mana para peserta dapat melepaskan pandangan yang terlalu intelektual dan sempit dari teks-teks Alkitab dan membangun suasana di mana mereka dapat memasuki gerakan yang hidup dengan teks. Melalui pengalaman ini, peserta dapat belajar memahami, menafsirkan, dan mengubah kisah hidup mereka dalam terang Sabda. Manfaat dan tantangan dari pendekatan integral ini terletak pada konfrontasi antara apa yang muncul dari proses Bibliodrama dengan kebiasaan dan kepercayaan hidup seseorang baik di tingkat pribadi maupun tradisi.